Cast : Yoo Jiae, Min
Yoongi
Genre : Friendship,
School Life, Childhood
Rating : 15 (There is some description about violence in this story)
“ Ya, Min Yoongi!”
Aku menggoyang-goyangkan tubuh Yoongi yang berbaring di atas
kursi taman seperti gelondongan kayu. Kenapa orang ini sangat suka tidur di
manapun sejak dulu?
“ Eung... Aku tidak tidur...” gumam Yoongi lirih sambil
beranjak duduk dengan wajah mengantuk.
“ Apa kau lembur lagi tadi malam?”
Yoongi mengangguk, “ Jadi, kau mau minta aku menemanimu ke
mana?” tanyanya sambil mengacak-acak rambut cokelat tuanya.
Aku hanya tersenyum. Yoongi tampak mengerutkan keningnya
heran.
“ Kau tidak ingat besok hari apa?” tanyaku. Yoongi
mengalihkan pandangannya ke atas, mencoba berpikir.
“ Kamis?”
“ Tanggal?”
Yoongi lalu menatapku, bola matanya tiba-tiba melebar.
“ Aissh!! Kenapa tidak bilang dari kemarin??” serunya ketika
dia berhasil mengingat sesuatu. “ Mati aku...”
“ Aku sudah mengingatkanmu dari jauh-jauh hari, Turtle...”
ucapku sambil mencibir. Orang ini sepertinya punya memori yang pendek. “ Aku
sudah bilang ‘Yoongi-ya, Kamis depan Yoojung akan berulang tahun, kau mau beri
apa untuknya?’. Lalu kau bilang nanti saja.”
“ Huh..” Yoongi mendengus, tanda bahwa dia tidak mau mengakui
kesalahannya. “ Temani aku mencari hadiah.. Aku tidak tahu hadiah apa yang
cocok untuk perempuan.”
Aku tersenyum lebar, “ Itulah gunanya aku mengajakmu pergi.
Sekalian...”
Wajah Yoongi kembali bingung, “ Apa?”
“ ... minggu depan ulang tahunku...”
Yoongi mengumpat kesal. Aku hanya bisa tertawa melihatnya.
* * *
Mungkin Yoongi memang orang yang pemalas, terkadang cuek
dengan apa yang terjadi di sekitarnya, dan bahkan melupakan hal yang paling
penting sekalipun - menurutku, mengingat tanggal ulang tahun kekasih adalah hal
yang penting -, tapi percayalah, dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku
punya. Hampir sama derajatnya dengan sahabatku sejak SD, Jung Minkyung. Yoongi
juga temanku sejak SD, hanya saja aku baru mengenalnya ketika kelas 5 SD,
sedangkan aku mengenal Minkyung sejak masuk SD.
Orang-orang yang mengenal kami sejak SD pasti akan mengira
bahwa kami akan berpacaran pada akhirnya karena kami selalu pergi bersama
kemanapun. Tapi mereka salah. Buktinya aku dan Yoongi menyukai orang lain.
Yoongi baru saja berpacaran dengan adik kelasnya, Yoon Yoojung, seminggu lalu.
Sedangkan aku ... sudahlah, lupakan saja.
Entah kenapa, ketika aku dan Yoongi sedang duduk di dalam bus
saat ini, pikiranku melayang ke waktu ketika kami berbicara untuk pertama kali.
* * *
“ Ibu akan membagi kelompok untuk mengerjakan tugas
prakarya.”
“ Aaaa...” sebagian besar murid kelas 5-2 mengeluh karena
mereka tidak bisa memilih kelompok mereka sendiri. Guru Yoon mulai membacakan
nama-nama murid yang akan menjadi satu kelompok tanpa mempedulikan apakah
murid-muridnya menyukainya atau tidak.
“ Jiae-ya, kita tidak bisa jadi satu kelompok...” Minkyung,
teman sebangku Jiae, tampak tidak senang. Aku hanya bisa mengerucutkan
bibirnya, menirukan ekspresi wajah Minkyung saat ini. Lucu sekali wajahnya,
pikirku.
“ Jung Minkyung, Lee Haemi”
“ Namaku sudah dipanggil, Jiae-ya. Aku pindah tempat duduk dulu.
Semoga kau dapat teman kelompok yang menyenangkan.” Minkyung menarik tasnya
dengan terpaksa.
“ Bersenang-senanglah, Minkyung-ah.” aku melambaikan
tangannya sambil tersenyum. Aku juga merasa sedih karena tidak bisa satu
kelompok dengannya. Tapi di sisi lain, aku juga ingin berkelompok dengan murid
lainnya.
“ Yoo Jiae, Min Yoongi”
Huh? Siapa yang satu kelompok denganku? Min Yoongi?
Semua murid di kelas langsung menoleh ke arahku dengan
tatapan kaget. Aku hanya bisa melihat ke kiri dan ke kanan, mencari orang yang
bernama Min Yoongi itu. Tapi kemudian...
BRUK!
Sebuah tas ransel hitam mendarat mulus di kursi Minkyung yang
ada di sebelahku. Aku hanya menatap ke arah tas tersebut hingga pemiliknya
datang. Seorang anak laki-laki yang badannya lebih kecil dariku, bermata kecil,
berambut hitam acak-acakan, dan pakaiannya pun juga tidak rapi.
“ Yoongi-ssi...” aku mencoba menyapanya walaupun sebenarnya
aku merasa canggung.
Jujur saja, aku belum pernah berbicara dengan Yoongi. Yoongi
adalah siswa pindahan dari SD Cheonguk. Dia dipindahkan karena sering sekali
membolos sehingga presensi minimalnya tidak terpenuhi dan terpaksa dikeluarkan
dari sekolah lamanya. Dan dia baru 2 bulan di sekolah ini. Karena reputasi di
sekolah lamanya buruk, belum lagi di kelas dia tidak mau bicara dengan murid
lainnya dan hanya tidur-tiduran ketika istirahat, belum ada murid di kelasnya
yang berani mendekatinya. Apalagi ketika berkenalan dulu, dia tidak menanggapi
kami sama sekali.
Dan mungkin aku akan jadi yang pertama.
“ Jangan takut. Aku tidak akan memukulmu atau apa.” Ucap Yoongi
datar, sepertinya dia tahu bahwa aku agak takut mengajaknya berbicara. Aku
hanya mengangguk sambil menatapnya yang kemudian menyandarkan tubuhnya di
kursi.
“ Tema prakarya kalian
adalah keluarga. Terserah kalian ingin membuat apa. Kumpulkan minggu depan.”
ujar Guru Yoon selanjutnya.
“ Iya, Bu!” sahut murid kelas 5-2 kompak.
“ Baiklah, kelas dibubarkan”
Murid-murid bersorak, diiringi dengan bel tanda pelajaran
selesai berbunyi. Waktunya pulang sekolah. Tapi aku masih duduk memikirkan
tugas kelompokku. Sepertinya Yoongi benar-benar tidak mau memikirkannya. Lihat
saja, dia sudah memejamkan matanya.
“ Jiae-ya...” Minkyung menatapku khawatir dari mejanya di
seberang sana. Haemi juga menatapku dengan tatapan yang sama.
“ Jangan khawatir..” ucapku tanpa suara.
SRUG!
Aku terperanjat melihat Yoongi yang beranjak dari kursinya
dan akan berjalan keluar kelas sambil menarik tasnya.
“ Ya!” aku segera menarik tasnya untuk menghentikannya.
Apa-apaan ini? Dia mau pergi tanpa memikirkan tugas kelompok?
Dia menoleh dan menatapku tajam. Aku bisa merasakan bahwa
teman-teman yang masih ada di kelas menatap kami takut. Tapi aku tidak peduli.
“ Kerjakan tugasnya mulai sekarang!” seruku. Aku tidak suka
dengan orang yang tidak bertanggungjawab dengan kewajibannya. Aku memang masih
kelas 5 SD, tapi keluargaku selalu mengajarkanku untuk bertanggungjawab dengan
kewajiban yang diberikan kepadaku.
“ Masih ada waktu seminggu!” balasnya.
“ Kau pikir ini akan selesai dalam waktu sehari?”
“ Aku akan membantu!” serunya kemudian, tapi kini sambil
menunduk. “ Aku... aku tidak bisa melakukannya sekarang...”
“ Kenapa tidak?” tanyaku, masih mengira kalau dia ingin
menunda-nunda pekerjaan. Pokoknya tidak akan kubiarkan hal itu terjadi.
“ Aku...” dia tidak berani menatapku seperti tadi. Kini
pandangannya menjadi tidak menentu.
“ Aku akan membantu, tapi tidak sekarang. Kau bisa mencari
ide atau apalah, aku akan membelikan peralatannya kalau kau mau.”
“ Tidak perlu, aku punya peralatan yang kita butuhkan.
Memangnya kau mau ke mana?”
Yoongi tidak menjawab. Dia menarik tasnya yang masih kupegang
sedari tadi, kemudian pergi begitu saja. Dia tampak aneh.
“ Jiae-ya, kau baik-baik saja?” Minkyung dan Haemi
menghampiriku, khawatir.
“ Eung, aku baik-baik saja. Memangnya dia melakukan apa
padaku?” ucapku sambil mencoba menenangkan teman-temanku.
“ Aku pikir dia akan memukulmu atau apa.” Ucap Haemi.
“ Dia tidak akan berani. Lihat saja. Dia belum tau seperti
apa Yoo Jiae.”
“ Iya, Yoo Jiae, si Elephant, akan menginjaknya jika dia
berbuat macam-macam.” Minkyung tertawa. Teman-teman sekelas menjulukiku
Elephant bukan tanpa alasan. Badanku lebih besar dibandingkan murid-murid
perempuan di kelasku. Aku tidak marah dijuluki seperti itu. Aku menganggapnya
sebagai panggilan kesayangan.
Kini, aku memikirkan darimana aku harus memulai tugas
prakaryaku.
* * *
Keesokan harinya...
Aku datang agak terlambat ke sekolah karena semalaman
memikirkan apa yang harus ku buat untuk tugas prakarya. Aku berniat menyalahkan
Yoongi yang kemarin tiba-tiba pergi dan tidak memberi ide sama sekali untuk
itu.
Tapi niatku urung kulakukan ketika aku melihat keadaan Yoongi
pagi ini.
Ruang kelasku sudah cukup ramai karena hampir semua murid
sudah datang, termasuk Minkyung dan Haemi yang sepertinya sedang membahas
tentang tugas mereka. Tapi mataku langsung tertuju ke arah kursi pojok belakang
ketika aku masuk ke kelas.
Min Yoongi.
Yoongi sedang tertidur dengan kepala diletakkan di atas
lengannya yang terjulur lurus. Wajahnya menghadap ke dinding. Aku langsung
menghampirinya, berniat untuk menanyakan tentang tugas prakarya.
Tapi kemudian aku
melihat ke arah tangannya yang terjulur. Aku bisa melihat telapak tangannya
memerah seperti dipukul.
Dengan hati-hati aku memanggilnya, “ Min Yoongi...”
Tidak ada jawaban. Mungkin dia memang sedang tidur.
“ Min Yoongi...” aku mengguncangkan bahunya sedikit. Dia lalu
terbangun.
Aku terkejut ketika melihat wajahnya. Ada bekas luka di dekat
bibir dan matanya seperti orang habis berkelahi.
“ Apa?” tanyanya dengan wajah mengantuk.
“ Uh, mukamu kenapa?” pertanyaan itu langsung terlontar
begitu saja. Jujur saja, keadaannya sangat mengkhawatirkan saat ini.
Dia tidak langsung menjawab, malah mengibaskan tangannya di
depan wajahnya. Jawaban yang diberikannya kemudian pun tidak ada hubungannya
dengan pertanyaanku.
“ Tugas prakarya? Ayo kerjakan nanti.”
Oh, aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal itu.
“ Eum, baiklah... Kita kerjakan di rumahku saja sepulang
sekolah, aku punya peralatannya.”
Yoongi hanya mengangguk, lalu kembali melanjutkan tidurnya.
Aku menghela nafas kemudian berjalan meninggalkannya menuju bangkuku. Mungkin
dia sedang ada masalah dan ingin melupakannya.
* * *
“ Min Yoongi.”
Mungkin orang akan merasa kesal jika namanya terus
dipanggil-panggil selama seharian. Tapi untungnya orang yang kupanggil tidak
merasa seperti itu. Entahlah, wajahnya selalu datar sehingga aku tidak tahu apa
yang dipikirkannya.
Aku berjalan menghampiri tempat duduk Yoongi ketika bel
pulang sekolah sudah berbunyi. Semua murid sudah berlari meninggalkan ruang
kelas, termasuk Minkyung dan Haemi yang bercerita bahwa mereka akan langsung
mengerjakan tugas prakarya sepulang sekolah, dan itu membuatku iri.
Aku tidak langsung berbicara ketika melihat Yoongi sibuk
memegangi tangannya yang kemerahan tadi. Dia tampak menahan sakit.
“ Tanganmu... tidak apa-apa?”
Yoongi menoleh, tampak terkejut.
“ Uh, tidak apa-apa.” Dia menyembunyikan tangannya di balik
saku celana.
“ Coba lihat.” Aku menarik tangannya. Aku tidak mau ketika
mengerjakan tugas nanti dia sibuk mengurusi tangannya. “ Ya ampun, ada apa
dengan tanganmu?”
Yoongi mencoba menarik tangannya dengan kasar, tapi itu tidak
akan berhasil karena pegangan tanganku saat ini sangat kuat.
Tangan Yoongi saat ini, seperti yang ku bilang tadi, telapak
tangannya memerah. Tapi jika dilihat lebih dekat, ada bekas goresan di sekitar
pergelangan tangannya.
“ Kau mau bunuh diri?” tanyaku terkejut. Yoongi langsung
menarik tangannya lagi. Wajahnya tampak marah. Aku sempat berpikir dia akan
urung mengerjakan tugas karena aku tampak seperti mengganggunya atau mengurusi
masalahnya. Tapi...
“ Ayo segera kerjakan tugas kita. Tanganku baik-baik saja.”
Yoongi memasukkan tangannya ke saku celana lagi dan beranjak dari tempat
duduknya, meninggalkanku keluar kelas.
Aku terdiam sejenak, lalu berlari mengejarnya.
“ Ya! Memang kau tau rumahku?”
* * *
“ Eomma! Aku pulang!” seruku begitu aku dan Yoongi sampai di
rumah.
Sepanjang perjalanan dari sekolah ke rumah, kami hanya diam.
Aku ingin mengajak Yoongi berbicara, menanyakan tentang luka-luka di tangan dan
wajahnya, tapi karena takut dia marah, aku memilih diam.
“ Oh, kau membawa teman, Jiae-ya?” ibuku keluar dari dapur
dan tersenyum ke arah Yoongi. Aku menoleh dan melihat Yoongi yang membungkuk
dengan ekspresi canggung.
“ Dia Min Yoongi, teman sekelasku. Kami mau mengerjakan tugas
prakarya di sini, Eomma.”
“ Baiklah.. Eomma akan menyiapkan makanan dan minuman untuk
kalian.” Ibuku kembali ke dapur.
“ Duduklah.” Aku menyuruh Yoongi duduk di dekat meja ruang
tamu. Dia langsung duduk, masih dengan ekspresi datarnya.
“ Tunggu di sini sebentar” kali ini ekspresi Yoongi berubah
bingung begitu melihatku berjalan masuk ke dapur, menyusul ibuku.
“ Eomma..” panggilku dengan suara pelan. Ibu yang sedang
membuat es sirup menoleh.
“ Apa Eomma punya obat luka?”
* * *
Aku melihat Yoongi nyaris tertidur di dekat meja.
“ Apa kau selalu tidur di manapun?” tanyaku sambil membawa
kotak P3K milik ibuku dan berjalan mendekatinya.
“ Huh?” Yoongi langsung terduduk dan menatap barang bawaanku
heran. “ Mana alat prakaryamu?”
“ Ini dulu.” Aku meletakkan kotak P3K yang cukup berat itu di
hadapannya. Lalu membukanya dan mengeluarkan obat luka.
“ Sudah ku bilang tanganku baik-baik saja.”
“ Baik-baik saja sampai kau terus-terusan memeganginya
sepanjang jalan tadi?” tanyaku yang sukses membuatnya diam.
Aku menarik tangannya dan mengoleskan obat luka di bekas
goresan yang ada di pergelangan tangannya. Dia meringis kesakitan.
“ Tuh kan.. Kalau tidak diobati, tanganmu ini akan membusuk.”
ucapku, mencoba membuatnya tertawa. Tapi yang ada dia mengataiku.
“ Jangan bodoh.”
Orang ini tidak bisa diajak bercanda.
Aku membebatkan perban di tangannya. “ Nah kalau begini,
tanganmu tidak akan sakit lagi. Sekarang wajahmu.”
“ Huh, tidak usah. Kau hanya membuang-buang waktu.” Yoongi
menggelengkan kepalanya.
“ Aku tidak suka kalau ada sesuatu yang mengganggu apa yang
kukerjakan.” Aku langsung membubuhkan obat luka di dekat mata dan bibirnya yang
terluka. Dia kembali mengerang kesakitan.
“ Siapa yang melakukan ini padamu, huh?” tanyaku. Yoongi
tidak menjawab.
Kemudian Ibu datang membawa es sirup dan kue.
“ Jiae sangat perhatian dengan teman-temannya.” ucapnya.
“ Huh, jangan memujiku di depan temanku, Eomma.” Aku
mengerucutkan bibirku ke arah Ibu. Ibu tertawa kecil.
“ Apa yang terjadi denganmu, Yoongi-ssi, jika Ibu boleh
tahu?”
Aku selesai mengobati luka Yoongi. Dia tampak menunduk dan
menggumam.
“ Tidak ada apa-apa. Terima kasih sudah bertanya...”
Aku dan ibuku saling bertatapan. Aku lalu mengisyaratkan
ibuku untuk tidak bertanya lagi. Ibu hanya mengangguk lalu kembali ke
kesibukannya semula di dapur.
“ A-aku akan mengambil alat prakarya..” aku segera beranjak
ke kamar, mengambil beberapa kertas berwarna dan peralatan prakarya seperti
gunting, spidol berwarna, lem, dan lain-lain, lalu kembali ke ruang tamu.
Yoongi kini sudah mengangkat wajahnya lagi. Dia tampak
mengambil beberapa kue dan memakannya sampai habis.
“ Apa kau sangat lapar sampai kue-kue itu hampir habis
semuanya?” tanyaku sambil meletakkan peralatan prakarya di hadapannya.
“ Aku... belum sarapan tadi...” ucapnya lirih.
Aku hanya menatapnya bingung. Belum sarapan, tubuhnya penuh
luka, tertidur di manapun. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Min Yoongi?
“ Makan saja dulu.” Aku menyodorkan piring kue kepada Yoongi.
Dia menatapku bingung, tapi tangannya yang tadi kuperban secara refleks
mengambil kue lagi. Dia benar-benar kelaparan.
“ Apa yang ingin kau buat untuk tugas prakarya?” tanyaku
kemudian.
“ Terserah kau saja.” Ucapnya sambil menelan kue yang
dikunyahya. “ Aku.. tidak punya pikiran apa-apa tentang tema keluarga...”
Aku mengerutkan kening, “ Memang kenapa?”
“ Aku tidak suka keluargaku...” ucapnya lagi dengan suara
lirih. “ Aku tidak pernah mengerjakan tugas apapun yang punya tema keluarga di
dalamnya. Maka dari itu.. aku hanya akan membantu..”
“ Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dengan keluargamu?”
tanyaku hati-hati.
Meskipun dengan suara tercekat dan tampak ragu untuk
menceritakan semuanya, aku bisa menangkap apa yang terjadi dengan keluarga
Yoongi.
Yoongi adalah anak satu-satunya di keluarganya. Ayahnya
bekerja serabutan dan sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Jika sudah
seperti itu, dia akan memarahi ibu dan dirinya, memukuli mereka berdua jika
perlu. Itulah yang menyebabkan tangan dan wajah Yoongi jadi seperti sekarang.
Keadaan malam hari yang seperti itu membuat Yoongi jarang
tidur nyenyak dan hanya bisa tidur ketika di kelas. Selain itu Yoongi juga
mencoba mencari kerja untuk membantu ibunya yang uangnya terus diambil ayahnya
untuk mabuk-mabukan. Itulah sebabnya kemarin Yoongi pulang cepat setelah
sekolah karena dia harus bekerja di tempat bibi jauhnya.
Anak kelas 5 SD menanggung beban seperti ini?
“ Jangan... ceritakan pada siapapun...” ucapnya setelah
mengakhiri ceritanya. “ Aku tidak mau orang mengasihaniku karena aku seperti
ini.”
“ Tapi, tetap saja kau butuh teman untuk bercerita.” Ujarku.
“ Teman akan membuat keadaanmu lebih baik.”
“ Aku tidak pernah punya teman karena aku tidak bicara dengan
siapapun di kelas.” Ujar Yoongi. “ Aku juga gampang marah, aku takut hanya akan
menyakiti mereka jika aku bicara dengan mereka.”
“ Kalau begitu, bertemanlah denganku.” Ucapku sambil
mengulurkan tangan. Yoongi tampak terkejut.
“ Aku kebal terhadap orang yang marah.” Aku tersenyum lebar.
“ Minkyung dan orang tuaku sering memarahiku, tapi aku bersikap seperti tidak
ada apa-apa.”
Yoongi mendengus, “ Huh, kau hanya mengasihaniku kan?”
Aku membelalakkan mata, lalu menatap kertas di depanku. “
Kalau kau tidak mau dikasihani...” aku mengambil beberapa kertas dan gunting,
kemudian memberikannya pada Yoongi, “ ... sekarang potong kertas-kertas ini
mengikuti pola yang sudah ku gambar. Aku tidak peduli tanganmu masih sakit atau
tidak sekarang.”
Yoongi menerima kertas-kertas dariku dan menatapku bingung.
Aku tertawa melihat ekspresinya saat ini. Dan tidak kusangka dia ikut tertawa
kecil.
“ Apa kau merasa lebih baik?” tanyaku sambil tersenyum.
Yoongi hanya mengangguk sambil mengambil gunting dan mulai memotong kertas
sambil sedikit tersenyum.
“ Itulah gunanya teman..”
“ Apa teman-temanmu akan merasa baik-baik saja kalau kau
punya teman sepertiku?”
“ Maksudmu Minkyung dan Haemi?”
“ Mereka tampak takut denganku...”
“ Itu karena kau tidak pernah bicara dengan mereka..” aku
menepuk kakinya, “ ... tenang saja, aku akan mencarikan banyak teman untukmu
tanpa perlu menceritakan masalah keluargamu...”
Yoongi kembali tersenyum sambil menyelesaikan memotong
lembaran pertama. “ Terima kasih. Aku akan berhutang banyak padamu.”
“ Tidak usah dipikirkan..” aku menatap piring kue yang kini
kosong. “ Ngomong-ngomong, kau benar-benar rakus menghabiskan satu piring kue.
Aku bahkan tidak kebagian.”
Yoongi tertawa melihat ekspresiku yang pura-pura sedih. Aku
senang bisa melihat sisi lain dari Min Yoongi hari ini. Kami bahkan bisa
menyelesaikan tugas prakarya dalam waktu semalam. Prakarya yang kami buat
adalah sebuah kartu ucapan Hari Keluarga dengan model pop-up.
Sejak saat itu, aku dan Yoongi berteman baik. Aku juga
mencoba mengajaknya berbicara dengan Minkyung, Haemi, dan beberapa anak
laki-laki di kelas. Beruntung mereka mau menerimanya walaupun masih agak
canggung.
* * *
“ Ya! Kita sudah sampai!” tepukan di pundakku membuyarkan
lamunanku. Yoongi langsung beranjak dari tempat duduknya. Aku mengikutinya.
“ Di mana kita akan membeli hadiah?” tanyanya sambil melihat
ke berbagai arah.
“ Lewat sini. Ada toko hadiah yang bagus.” Aku menunjuk ke
depan sambil menggandeng Yoongi. Dia hanya mengikutiku sampai ke toko hadiah
yang kemarin sempat ku survei sebelum mengajaknya ke sini.
“ Pilih.” Ucapnya begitu masuk ke toko hadiah.
“ Kau ini malas sekali. Kau yang tahu barang kesukaannya.”
“ Maksudku, pilih hadiahmu.”
“ Huh? Yang benar?” aku terkejut. Yoongi mengangguk. Dia lalu
meninggalkanku untuk memilih hadiah ulang tahun Yoojung di rak lain.
“ Hei, kau tidak mau aku memilihkan hadiah untuk Yoojung?”
“ Lupakan.” Ucapnya singkat sambil mengibaskan tangannya,
sebelum menghilang di antara rak-rak hadiah.
Lihatlah, Min Yoongi yang dulu tampak menyeramkan karena
tidak pernah bicara sekarang menjadi lebih cerewet tapi sebaik ibu peri.
* * * *
Hai, sebenernya aku udah beberapa kali posting FF di sini,
tapi karena ga pernah selesai jadi sering aku hapus. >_< Mumpung lagi
libur semester, aku nyoba nyelesaiin beberapa FF yang aku bikin di laptop.
Alhamdulillah yang ini selesai... Kyak~ >-<
Aku BTS-Lovelyz shipper sih tapi bukan Suga-Jiae shipper. Ga
tau kenapa setelah baca beberapa FF di website lain jadi pingin bikin FF
tentang Suga tapi bukan yang romance. Hehe... Semoga kalian suka... ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar